Selamat Datang d Blog saya

Asalamu Alaikum wr.wb, Pertama-tama Saya Ucapkan Terima kasih banyak Karena telah sempat mampir d Blog Saya dan tak lupa juga saya meminta maaf karena Blog ini belum terlalu sempurna, maklum masi dalam proses pembelajaran Untuk menjadikan Blog ini ketahap yang lebih baik lagi agar bisa menyajikan data-data penting.

Rabu, 04 April 2012

MAKALAH TENTANG PIDANA MATI DAN PIDANA PENJARA DALAM PRESPEKTIF HAM


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalulintas atau hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau darui sudut subyeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subyek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum itu melibatkan semua subyek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subyeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.
Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut obyeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pada nilai-nilai keadilan yang terkandung didalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tatapi dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja. Karena itu, penerjemahan perkataan Law enforcement ke dalam bahasa indonesia dalam menggunakan perkataan Penegakan Hukum dalam arti luas dapat pula digunakan istilah Penegakan Peraturan dalam arti sempit. Pembedaan antara formalita aturan hukum yang tertulis dengan cakupan nilai keadilan yang dikandungnya ini bahkan juga timbul dalam bahasa inggris sendiri dengan dikembangkannya istilah the rule of law atau dalam istilah the rule of law and not of a man versus istilah the rule by law yang berarti the rule of man by law Dalam istilah the rule of law terkandung makna pemerintahan oleh hukum, tetapi bukan dalam artinya yang formal, melainkan mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya. Karena itu, digunakan istilah the rule of just law. Dalam istilah the rule of law and not of man, dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pada hakikatnya pemerintahan suatu negara hukum modern itu dilakukan oleh hukum, bukan oleh orang. Istilah sebaliknya adalah the rule by law yang dimaksudkan sebagai pemerintahan oleh orang yang menggunakan hukum sekedar sebagai alat kekuasaan belaka.
Bermacam-macam cara pemidanaan ataupun ancaman hukuman yang dalam hal ini hukum pidana sebagai sarana untuk menegakkan hukum. Pidana mati merupakan salah satu jenis cara penegakan hukum pidana yang paling kontroversial didunia. Dari jaman Babilonia hingga saat ini, hukuman tersebut masih digunakan sebagai salah satu sangsi bagi mereka yang dituduh/terbukti melakukan satu tindak kejahatan. Tidak ada catatan yang pasti menyatakan awal digunakannya hukuman mati.
Pidana mati dapat dikatakan sebagai pidana yang paling kejam, karena tidak ada lagi harapan bagi terpidana untuk memperbaiki kejahatannya (Djoko Prakoso, 1987: 32). Eksekusi pidana mati sepanjang sejarah dilaksanakan dengan berbagai macam cara. Ketika manusia masih dalam tingkat pemikiran dan teknologi yang belum semaju seperti sekarang ini, caranya sungguh kejam dan tidak berperikemanusiaan kalau kita menilainya dari sudut pandang masa kini.
Pidana penjara seumur hidup akan selalu dihadapkan dengan suatu persoalan pergulatan tentang kemanusiaan. Disatu sisi pidana penjara seumur hidup digunakan sebagai sarana represif untuk melindungi masyarakat dari perbuatan dan pelaku kejahatan yang dipandang sangat membahayakan. Namun di sisi lain pidana penjara seumur hidup meniadakan hak narapidana mengakhiri masa menjalankan pidana. Garis kebijakan tujuan pelaksanaan pidana di Indonesia adalah pemasyarakan sebagaimana diatur dalam UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Meskipun pidana penjara seumur hidup dalam kenyataannya masih digunakan, namun dalam praktik pelaksanaannya cenderung berusaha untuk menyesuaikan dengan sistem pemasyarakatan yang berorientasi pembinaan. Hal demikian ditempuh untuk mengatasi benturan kepentingan dalam konsep pemasyarakatan yang berorientasi kepada rehabilitasi dan resosialisasi narapidana untuk kembali ke masyarakat dan kepentingan untuk memisahkan narapidana dengan masyarakat dalam jangka waktu lama. Perlu kearifan dalam memandang tujuan pemidanaan yang tidak bermaksud semata memisahkan pelaku kejahatan dari masyarakat dalam jangka waktu lama demi alasan suatu pelanggaran hukum. Meskipun pemidanaan disahkan sebagai konsekuensi atas suatu perbuatan yang melanggar hukum, namun secara substansial dan pelaksanaanya hendaknya menghormati narapidana sebagai manusia yang dijadikan obyek pemidanaan. Bagaimanapun tidak ada perbuatan yang secara absolut terus menerus membahayakan masyarakat dan tidak ada pelaku kejahatan yang memiliki kesalahan absolut atau sama sekali tidak dapat diperbaiki. Jika demikian faktanya bukankah suatu hal yang berlebihan apabila pidana penjara diterapkan hanya semata-mata difokuskan kepada perampasan kebebasan seseorang selama hidup tanpa memberi kesempatan untuk kembali kepada masyarakat ?. Bukankah hal demikian merupakan pemidanaan yang cenderung melanggar HAM seseorang, yakni hak kebebasan yang menurut hukum dilindungi keberadaannya.

1.2. Perumusan Masalah
1.      Eksitensi Pidana Mati dalam prespektif HAM ?
2.      Eksitensi Pidana Penjara dalam prespektif HAM ?
















BAB 2
PEMBAHASAN

2.1. Pidana Mati dalam presppektif HAM
A. Analisis hukuman mati menurut ketentuan internasional Hak Asasi Manusia Internasional
Jika dikaji lebih mendalam sesuai dengan ketentuan DUHAM, terdapat beberapa pasal didalam DUHAM yang tidak memperbolehkan hukuman mati, antara lain:
Berdasarkan Pasal 3 ” Setiap orang berhak atas kehidupan, kemerdekaan, dan keamanan pribadi ”. Bentuk yang paling ekstrim dari pelanggaran hak untuk hidup ini ialah pembunuhan atau melukai jasmai atau rohani dari seseorang ataupun dari kelompok ( Leah Levin, 1987: 45). Hukuman mati jelas telah melanggar pasal ini, dimana orang yang dijatuhi hukuman mati telah dirampas kehidupannya, kemerdekaannya, keamanan pribadinya. Bagaimanapun juga hukuman mati adalah hukuman yang sangat melanggar hak untuk hidup bagi manusia sebagai makluk ciptaan Tuhan.Dapat dilihat banyak orang yang telah dijatuhi hukuman mati, antara lain koruptor di Cina, Saddam Hussein, ataupun lainnya. Namun seperti kasus Rwanda dan Yugoslavia pelaku pelanggaran HAM hanya diganjar dengan hukuman maksimal pidana seumur hidup, karena hukuman mati di jaman modern ini mulai ditinggalkan oleh negara-negara di dunia, meskipun masih ada beberapa negara yang masih melaksanakannya dengan berbagai cara, seperti digantung, ditembak, dan disuntik. Bagaimanapun caranya hukuman mati tetap saja melukai diri dan mengambil hak hidup dari seseorang.
Jika pidana mati ditinjau menurut Kovenan Internasional Tentang Hak Sipil politik yaitu Pasal 6 ayat (1) Pada setiap insan manusia melekat hak untuk hidup. Hak ini harus dilindungi oleh hukum. Tidak seorangpun insan manusia yang secara gegabah boleh dirampas kehidupannya. Seperti halnya dijelaskan pada Pasal 3 DUHAM bahwa pelaksanaan eksekusi mati, telah melanggar pasal 6 ayat (1), eksekusi mati pada dasarnya menimbulkan kesakitan fisik dan dirampasnya hak hidup dari seseorang, dan ini yang bertentangan dengan Pasal 6 ayat (1) ICCPR dan Pasal 3 DUHAM. Meskipun banyak negara belum menghapuskan hukuman mati antara lain Indonesia, Cina dan negara Irak belum menghapuskan hukuman mati, yang menjadi permasalahan adalah tidak adanya pemenuhan dan pengaturan yang jelas terhadap pelaksanaan pidana hukuman tersebut baik itu dalam proses penangkapan maupun dalam pelaksanaan pemeriksaan di persidangan, sehingga hal tersebut bertentangan dengan konsep the rule of law dimana terdapatnya pengaturan yang jelas baik itu persamaan kedudukan di muka hukum dan juga terdapatnya peradilan yang bebas dan tidak memihak yang berimberimplikasi kekuasaan kehakimanh yang merdeka.
Pasal 6 ayat (2) Kovenen Internasional Tentang Hak Sipil Politik menyatakan bahwa Di negara-negara yang belum menghapuskan hukuman mati, putusannya dapat diberikan hanya untuk kejahatan yang paling berat, sesuai dengan undang-undang yang berlaku pada waktu kejahatan demikian dilakukan, dan tanpa melanggar suatu ketentuan dari Kovenan ini dan Konvensi Tentang Pencegahan Dan Penghukuman Kejahatan Pemusnahan (suku) Bangsa. Hukuman ini hanya boleh dilaksanakan dengan putusan terakhir dari pengadilan yang berwenang. Lebih lanjut Pasal 6 ayat (4) Kovenan Internasional tentang Hak Sipil Politik mengatur bahwa Seseorang yang telah dihukum mati harus mempunyai hak untuk memohon pengampunan atau keringanan hukuman. Amnesti, pengampunan, atau keringanan hukuman mati dapat diberikan dalam segala bab. Dalam hal ini menurut uraian diatas penulis mencoba berpendapat dengan memperhatikan beberapa aspek, karena dalam memahami suatu peraturan hendanknya diperhatikan aspek filosofis, sosiologis, dan yuridis dalam dilakukannya ataupun diterapkannya pidana mati, meskipun dalam HAM hukuman mati dilarang karena tidak sesuai dengan Pasal 3 DUHAM dan juga banyak dari negara di dunia yang telah menghapuskan hukuman mati.
Di samping pengaturan tentang hak dasar yaitu hak untuk hidup yang diatur dalam DUHAM tersebut yang dalam hal ini dihubungkan dengan hukuman mati, terdapat pengecualian terhadap pelaksanaan hak tersebut yaitu dengan adanya pemahaman mendalam terhadap adanya derogable rights, yaitu dalam hal yang pertama ”a public emergency which treatens the life of nation” dapat dijadikan dasar untuk membatasi pelaksanaan hak-hak kebebasan dasar, dengan syarat bahwa kondisi keadaan darurat (public emergency) tersebut harus diumumkan secara resmi (be officially proclaimed), bersifat terbatas serta tidak boleh diskriminatif. (Muladi, 2004 : 101). Hal tersebut diatur secara limitatif dalam Kovenan Internasional Tentang Hak Sipil dan Politik, dalam Pasal 4 ayat (1) ICCPR menyatakan, dalam keadaan darurat umum yang mengancam kehidupan bangsa dan terdapatnya keadaan darurat tersebut telah diumumkan secara resmi, negara-negara pihak pada kovenan ini dapat mengambil upaya-upaya yang menyimpang (derogate) dari kewajiban mereka berdasarkan kovenan ini, sejauh hal itu dutuntut oleh situasi darurat tersebut, dengan ketentuan bahwa upaya-upaya tersebut tidak bertentangan dengan kewajiban negara-negara pihak itu menurut hukum internasional, dan tidak menyangkut diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, dan asal-usul sosial, sehingga vonis mati yang dijatuhkan terhadap Saddam tidak bertentangan dengan Pasal 3 DUHAM, karena kejahatan yang dilakukan adalah kejahatan HAM berat dan memenuhi ketentuan Pasal 4 ICCPR.

2.2. PIDANA PENJARA DALAM PERSFEKTIF HAM

Pidana penjara merupakan pidana hilang kemerdekaan bergerak. Sistem Pidana penjara mulai di kenal di Indonesia melalui KUHP (Wet Buek Van Strefrecht) tepatnya pada pasal 10 yang menyebutkan pidana terdiri dari :
a. Pidana Pokok
- Hukuman mati
- Hukuman penjara
- Hukuman kurungan
- Hukuman denda
b. Pidana Tambahan
- Pencabutan hak-hak tertentu
- Perampasan barang-barang tertentu
- Pengumuman putusan hakim.
Hal ini menarik untuk dikaji pada pidana pokok khususnya poin kedua yaitu Pidana Penjara. Menurut rancangan Undang-undang KUHP yang baru dikaitkan dengan rumusan-rumusan sanksi pidana dari berbagai peraturan Perundang-undangan yang sedang berlaku. Lembaga Pemasyarakatan sebagai tempat untuk menjalankan pidana hilang kemerdekaan Bergerak bagi seseorang yang karena perbuatannya melanggar hukum dan dinyatakan bersalah serta di putus dalam persidangan dan putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Dalam menetapkan pidana yang dijatuhkan harus dipahami benar apa makna dari kejahatan, penjahat dan pidana itu sendiri . Apakah sudah setimpal dengan berat dan sifat kejahatan yang dilakukan oleh sipelaku pidana yang telah dijatuhi hukuman oleh hakim tidak cukup untuk mengatakan bahwa pidana itu harus sesuai dengan ancaman pidana yang terdapat dalam peraturan per Undang – undangan yang berlaku.
Pidana termasuk tindakan, Bagaimanapun juga merupakan suatu penderitaan bagi yang dikenainya, Oleh karena itu sudah sewajarnyalah tidak henti – hentinya untuk mencari dasar, tujuan serta hakekat dari pidana dan pemidanaan, untuk memberikan pembenaran dari pidana itu .
Jenis pidana yang paling sering dijatuhkan pada saat ini adalah pidana pencabutan kemerdekaan khususnya pidana penjara . Pidana pencabutan kemerdekaan atau pidana penjara dilaksanakan dibelakang tembok yang tebal yang sama sekali asing bagi narapidana
Mencermati kalimat “PIDANA PENJARA” mengandung pengertian bahwa tata perlakuan terhadap Narapidana belum berubah, karena PENJARA berasal dari PENJORO (Jawa) yang berarti taubat atau jera, di penjara atau dibuat jera (Koesnoen, RA, 1961 : 9). Walaupun tujuan dari Pidana Penjara itu sendiri adalah Pemasyarakatan. Hal ini berbeda dengan pidana lainnya, yang bunyi kalimatnya Pidana mati. Tujuan dan perlakuannya adalah terpidana tersebut di Hukum Mati atau dibuat Mati, begitu juga Pidana Denda artinya Narapidana tersebut di denda.
Lain halnya dengan Pidana Penjara yang mengandung pengertian tata perlakuan terhadap Narapidana tersebut di buat jera agar tidak mengulangi lagi perbuatan yang melanggar hukum Hal ini akan mengandung persepsi yang berbeda-beda karena membuat orang jera akan di tempuh berbagai macam cara.
Padahal tidak demikian maksud dari Pidana Penjara, yang sebenarnya adalah satu-satunya derita yang diberikan oleh Negara adalah dihilangkannya kemerdekaan bergerak dan di bimbing terpidana agar bertaubat, di didik supaya menjadi seorang anggota masyarakat sosial di Indonesia yang berguna
Hal ini sesuai dengan orasi ilmiah Dr. Soeardjo, SH pada penerimaan gelar Doktor Honoris Causa dalam ilmu hukum, oleh Universitas Indonesia di Istana Negara pada tanggal 5 Juli 1963. Merumuskan bahwa tujuan Pidana penjara adalah “Disamping menimbulkan rasa derita pada terpidana karena hilangnya kemerdekaan bergerak, membimbing terpidana agar bertaubat, mendidik supaya ia menjadi seorang anggota masyarakat sosial di Indonesia yang berguna”. Gagasan tersebut sebagai tonggak sejarah lahirnya tata perlakuan yang lebih baik terhadap Narapidana yang melahirkan prinsip-prinsip pemasyarakatan, kemudian dirumuskan dalam suatu sistem yaitu Sistem Pemasyarakat
Kajian lebih lanjut adalah bagaimana istilah pidana penjara ini di di ganti menjadi “Pidana Hilang Kemerdekaan Bergerak” yang kemudian melahirkan suatu Sistem pemidanaaan yang harus berubah tidak lagi berorientasi pada membuat pelaku menjadi jera akan tetapi lebih berorientasi pada Warga Binaan Pemasyarakatan harus berada dalam Lembaga Pemasyarakatan untuk memperbaikinya agar hal ini sejalan dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Pemasyarakatan merupakan bagian akhir dari Sistem Pemidanaan dalam Tata Peradilan Terpadu adalah bagian Integral dari Tata Peradilan Terpadu (Integrated Criminal Justice system). Sehingga di tinjau dari sistem kelembagaan, cara pembinaan dan petugas Pemasyarakatan merupakan bagian akhir yang tak terpisahkan dari satu proses penegakkan hukum. Oleh sebab itu sudah seharusnya oleh menyamakan visi dan misi serta persepsi, sehingga tujuan dari pada penegakkan hukum akan tercapai.
Sehubungan dengan tujuan Pemidanaan Sahetapy yang juga berorientasi pada pandangan filosofi Pancasila berpendapat bahwa :
Pemidanaan sebaiknya bertujuan pembebasan. Dijelaskan selanjutnya bahwa makna pembebasan menghendaki agar si pelaku bukan saja harus dibebaskan dari alam pikiran yang jahat, yang keliru, melainkan ia harus pula dibebaskan dari kenyataan sosial dimana ia terbelenggu .
Pidana Penjara merupakan suatu sistem perlakuan pelanggaran hukum yang pada dasarnya memberi pola perlakuan reintegrasi yang bertujuan memulihkan kesatuan hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan Narapidana dalam kapasitasnya sebagai mahluk pribadi dan mahluk social dalam konteks Hak Asasi nya subagai Manusia, Pemulihan kesatuan ini memiliki masalah yang sangat kompleks. Masalah pembinaan pelangar hukum adalah pembinaan manusia dari segala sisi termasuk yang paling prinsip yakni sisi HAMnya. Dalam upaya pemulihan kesatuan ini, yang terpenting adalah proses yang berfungsi sebagai katalisator pencapaian tujuan tersebut.
Proses Pidana Penjara dalam Lembaga Pemasyarakatan sebagai katalisator pencapaian tujuan tersebut adalah merupakan proses integrasi yang menggalang semua aspek kemasyarakatan secara integral, termasuk aspek kehidupan Narapidana. Proses Pemasyarakatan adalah proses gotong royong yang terjalin antara Narapidana, Petugas dan Masyarakat. Oleh sebab itu dalam perspektif HAM dan untuk memberikan “keadilan” perlakuan terhadap Narapidana yang terkena pidana penjara tidak mutlak harus dengan cara-cara kekerasan.
Menurut Salmond, terdapat beberapa karateristik atau ciri dari hak yang di atur oleh hukum yaitu :
1. melekat pada seseorang, orang ini disebut sebagai pemilik hak (the owner of the righ)atau pemegang hak (the subject of it, the person entitled, or the person inherence).
2. seseorang yang terkena oleh hak itu terikat oleh suatu kewajiban (the person bound to) atau subjek dari kewajiban (the subject of duty atau the person of incidence).
3. hak ini mewajibkan seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan bagi pemegang hak, inilah yang merupakan isi suatu hak.
4. melakukan atau tidak melakukan perbuatan tadi berkaitan dengan suatu objek tertentu (object or subject matter of the righ).
5. setiap hak memiliki title atau fakta-fakta atau peristiwa-peristiwa yang atas dasar itu hak tersebut melekat pada seseorang.
Dengan demikian fungsi Pidana Penjara, tidak lagi sekedar penjaraan tetapi juga merupakan suatu usaha rehabilitas dan reintegrasi sosial. Pidana Penjara seharusnya merupakan Sistem Pemasyarakatan menitik beratkan pada usaha perawatan, pembinaan, pendidikan dan bimbingan bagi warga binaan yang bertujuan untuk memulihkan kesatuan yang asasi antara induvidu warga binaan dan masyarakat.
Pelaksanaan pidana penjara di lembaga pemasyarakatan didasarkan atas prinsip-prinsip Sistem Pemasyarakatan dengan tujuan agar menjadi warga yang baik dan berguna. Warga binaan dalam Sistem Pemasyarakatan mempunyai hak-hak asasi untuk memperoleh pembinaan rohani dan jasmani serta dijamin untuk menjalankan ibadahnya, berhubungan dengan pihak luar baik keluarganya maupun pihak lain, memperoleh informasi baik melalui media cetak maupun elektronik, memperoleh pendidikan yang layak dan sebagainya.
Hak-hak ini seharusnya diperoleh secara otomatis tanpa dengan syarat atau kriteria tertentu, walaupun seseorang dalam kondisi yang di pidana penjara.agar hak narapidana ini dapat terselenggara dengan baik maka sistem penjara yang nota benenya adalah pembalasan terhadap pelaku tindak pidana harus dirubah ke sistem pemasyarakatan yang bertujuan untuk memulihkan narapida dengan tetap berorientasi kepada kesatuan hak asasi antara induvidu dan masyarakat.


BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Hukuman mati masih diterapkan di Indonesia dan tertuang dalam hukum positif Indonesia yaitu Pasal 10 KUHP dan termasik sebagai pidana pokok, hal tersebut juga didukung dengan kualifikasi tindak pidana yang bisa dikategorikan ataupun diancam dengan pidana mati antara lain tindakan makar, ataupun mengajak negara asing untuk menyerang Indonesia begitu juga dalam Rancangan KUHP juga terdapat pengaturan pidana mati.
2. Pidana Penjara merupakan suatu sistem perlakuan pelanggaran hukum yang pada dasarnya memberi pola perlakuan reintegrasi yang bertujuan memulihkan kesatuan hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan Narapidana dalam kapasitasnya sebagai mahluk pribadi dan mahluk social dalam konteks Hak Asasi nya subagai Manusia, Pemulihan kesatuan ini memiliki masalah yang sangat kompleks. Masalah pembinaan pelangar hukum adalah pembinaan manusia dari segala sisi termasuk yang paling prinsip yakni sisi HAMnya. Dalam upaya pemulihan kesatuan ini, yang terpenting adalah proses yang berfungsi sebagai katalisator pencapaian tujuan tersebut.
B. Saran-saran
1. Bagi aparat penegak hukum, khususnya bagi para pembuat produk hukum hendaknya lebih memperhatikan aspek kemanusiaan dalam hal membuat suatu rumusan yang berisi tentang pidana mati, dan juga terhadap aparat penegak hukum harus lebih memperhatikan aspek kedepan beserta alasan tentang penerapan pidana mati.
2. Bagi seluruh masyarakat hendaknya mematuhi hukum yang bertujuan untuk mencapai keadilan dal ketertiban, karena dengan tertibnya hukum dapat tercipta suatu kondisi yang nyaman, serta memperhatikan ketentuan internasional hak asasi manusia dalam penerapan pidana mati.


DAFTAR PUSTAKA
Afif Hasbullah. 2005. Politik Hukum Ratifikasi Konvensi Ham Di Indonesia Upaya Mewujudkan Masyarakat Yang Demoktatis. Lamongan : UNISDA.
Andi Hamzah dan Sumangelipu.1985. Pidana Mati di Indonesia dii Masa Lalu, Kini, dan di Masa Depan. Jakarta : Ghalia Indonesia.
Anonim. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Right) 1948
_________. Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Right).
_________. 2007. Legalitas Pidana Mati. .http://blog.360.yahoo.com /blogFY.YCdA3eqJBaePF0zjgLK9R?p=6. [12 September 2007]
Arie Siswanto. 2005. Yuridiksi Material Mahkamah Kejahatan Internasional. Bogor : Ghalia Indonesia.
Bambang Sunggono dan Aries Harianto. 2001. Bantuan Hukum Dan Hak Asasi Manusia. Bandung : Mandar Maju.
Boer Mauna. 2003. Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global. Bandung : Alumni.
Davidson, Scott. Hak Asasi Manusia. 1994. Jakarta : Grafiti.
Djoko Prakoso. 1987. Masalah Pidana Mati (Soal Jawab). Jakarta: Bina Aksara.





Tugas : Hukum Pantesier

PIDANA MATI DAN PIDANA PENJARA DALAM PRESPEKTIF HAM

unhalu 001






Oleh

HARDIANSYAH
HIAI 09 283


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2012