BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang
Penegakan hukum adalah proses
dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara
nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalulintas atau hubungan hukum dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau darui sudut subyeknya, penegakan
hukum itu dapat dilakukan oleh subyek yang luas dan dapat pula diartikan
sebagai upaya penegakan hukum itu melibatkan semua subyek hukum dalam setiap
hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan
sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan
hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam
arti sempit, dari segi subyeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan
sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan
tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu
diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.
Pengertian penegakan hukum itu
dapat pula ditinjau dari sudut obyeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal
ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas,
penegakan hukum itu mencakup pada nilai-nilai keadilan yang terkandung
didalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam
masyarakat. Tatapi dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut
penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja. Karena itu, penerjemahan
perkataan Law enforcement ke dalam bahasa indonesia dalam menggunakan
perkataan Penegakan Hukum dalam arti luas dapat pula digunakan istilah Penegakan
Peraturan dalam arti sempit. Pembedaan antara formalita aturan hukum yang
tertulis dengan cakupan nilai keadilan yang dikandungnya ini bahkan juga timbul
dalam bahasa inggris sendiri dengan dikembangkannya istilah the rule of law
atau dalam istilah the rule of law and not of a man versus istilah the
rule by law yang berarti the rule of man by law Dalam istilah the rule of
law terkandung makna pemerintahan oleh hukum, tetapi bukan dalam artinya yang
formal, melainkan mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di
dalamnya. Karena itu, digunakan istilah the rule of just law. Dalam istilah the
rule of law and not of man, dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pada hakikatnya
pemerintahan suatu negara hukum modern itu dilakukan oleh hukum, bukan oleh
orang. Istilah sebaliknya adalah the rule by law yang dimaksudkan
sebagai pemerintahan oleh orang yang menggunakan hukum sekedar sebagai alat
kekuasaan belaka.
Bermacam-macam cara pemidanaan
ataupun ancaman hukuman yang dalam hal ini hukum pidana sebagai sarana untuk
menegakkan hukum. Pidana mati merupakan salah satu jenis cara penegakan hukum
pidana yang paling kontroversial didunia. Dari jaman Babilonia hingga saat ini,
hukuman tersebut masih digunakan sebagai salah satu sangsi bagi mereka yang
dituduh/terbukti melakukan satu tindak kejahatan. Tidak ada catatan yang pasti
menyatakan awal digunakannya hukuman mati.
Pidana mati dapat dikatakan
sebagai pidana yang paling kejam, karena tidak ada lagi harapan bagi terpidana
untuk memperbaiki kejahatannya (Djoko Prakoso, 1987: 32). Eksekusi pidana mati
sepanjang sejarah dilaksanakan dengan berbagai macam cara. Ketika manusia masih
dalam tingkat pemikiran dan teknologi yang belum semaju seperti sekarang ini,
caranya sungguh kejam dan tidak berperikemanusiaan kalau kita menilainya dari
sudut pandang masa kini.
Pidana penjara seumur
hidup akan selalu dihadapkan dengan suatu persoalan pergulatan tentang
kemanusiaan. Disatu sisi pidana penjara seumur hidup digunakan sebagai sarana
represif untuk melindungi masyarakat dari perbuatan dan pelaku kejahatan yang
dipandang sangat membahayakan. Namun di sisi lain pidana penjara seumur hidup
meniadakan hak narapidana mengakhiri masa menjalankan pidana. Garis kebijakan
tujuan pelaksanaan pidana di Indonesia adalah pemasyarakan sebagaimana diatur
dalam UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Meskipun pidana penjara
seumur hidup dalam kenyataannya masih digunakan, namun dalam praktik
pelaksanaannya cenderung berusaha untuk menyesuaikan dengan sistem
pemasyarakatan yang berorientasi pembinaan. Hal demikian ditempuh untuk
mengatasi benturan kepentingan dalam konsep pemasyarakatan yang berorientasi
kepada rehabilitasi dan resosialisasi narapidana untuk kembali ke masyarakat
dan kepentingan untuk memisahkan narapidana dengan masyarakat dalam jangka
waktu lama. Perlu kearifan dalam memandang tujuan pemidanaan yang tidak
bermaksud semata memisahkan pelaku kejahatan dari masyarakat dalam jangka waktu
lama demi alasan suatu pelanggaran hukum. Meskipun pemidanaan disahkan sebagai
konsekuensi atas suatu perbuatan yang melanggar hukum, namun secara substansial
dan pelaksanaanya hendaknya menghormati narapidana sebagai manusia yang
dijadikan obyek pemidanaan. Bagaimanapun tidak ada perbuatan yang secara
absolut terus menerus membahayakan masyarakat dan tidak ada pelaku kejahatan
yang memiliki kesalahan absolut atau sama sekali tidak dapat diperbaiki. Jika
demikian faktanya bukankah suatu hal yang berlebihan apabila pidana penjara
diterapkan hanya semata-mata difokuskan kepada perampasan kebebasan seseorang
selama hidup tanpa memberi kesempatan untuk kembali kepada masyarakat ?.
Bukankah hal demikian merupakan pemidanaan yang cenderung melanggar HAM
seseorang, yakni hak kebebasan yang menurut hukum dilindungi keberadaannya.
1.2.
Perumusan Masalah
1.
Eksitensi Pidana Mati dalam prespektif
HAM ?
2.
Eksitensi Pidana Penjara dalam
prespektif HAM ?
BAB
2
PEMBAHASAN
2.1. Pidana Mati
dalam presppektif HAM
A.
Analisis hukuman mati menurut ketentuan internasional Hak Asasi Manusia Internasional
Jika dikaji lebih mendalam sesuai
dengan ketentuan DUHAM, terdapat beberapa pasal didalam DUHAM yang tidak
memperbolehkan hukuman mati, antara lain:
Berdasarkan Pasal 3 ” Setiap
orang berhak atas kehidupan, kemerdekaan, dan keamanan pribadi ”. Bentuk
yang paling ekstrim dari pelanggaran hak untuk hidup ini ialah pembunuhan atau
melukai jasmai atau rohani dari seseorang ataupun dari kelompok ( Leah Levin,
1987: 45). Hukuman mati jelas telah melanggar pasal ini, dimana orang yang
dijatuhi hukuman mati telah dirampas kehidupannya, kemerdekaannya, keamanan
pribadinya. Bagaimanapun juga hukuman mati adalah hukuman yang sangat melanggar
hak untuk hidup bagi manusia sebagai makluk ciptaan Tuhan.Dapat dilihat banyak
orang yang telah dijatuhi hukuman mati, antara lain koruptor di Cina, Saddam
Hussein, ataupun lainnya. Namun seperti kasus Rwanda dan Yugoslavia pelaku
pelanggaran HAM hanya diganjar dengan hukuman maksimal pidana seumur hidup,
karena hukuman mati di jaman modern ini mulai ditinggalkan oleh negara-negara
di dunia, meskipun masih ada beberapa negara yang masih melaksanakannya dengan
berbagai cara, seperti digantung, ditembak, dan disuntik. Bagaimanapun caranya
hukuman mati tetap saja melukai diri dan mengambil hak hidup dari seseorang.
Jika pidana mati ditinjau menurut
Kovenan Internasional Tentang Hak Sipil politik yaitu Pasal 6 ayat (1) Pada
setiap insan manusia melekat hak untuk hidup. Hak ini harus dilindungi oleh
hukum. Tidak seorangpun insan manusia yang secara gegabah boleh dirampas
kehidupannya. Seperti halnya dijelaskan pada Pasal 3 DUHAM bahwa
pelaksanaan eksekusi mati, telah melanggar pasal 6 ayat (1), eksekusi mati pada
dasarnya menimbulkan kesakitan fisik dan dirampasnya hak hidup dari seseorang,
dan ini yang bertentangan dengan Pasal 6 ayat (1) ICCPR dan Pasal 3 DUHAM.
Meskipun banyak negara belum menghapuskan hukuman mati antara lain Indonesia,
Cina dan negara Irak belum menghapuskan hukuman mati, yang menjadi permasalahan
adalah tidak adanya pemenuhan dan pengaturan yang jelas terhadap pelaksanaan
pidana hukuman tersebut baik itu dalam proses penangkapan maupun dalam
pelaksanaan pemeriksaan di persidangan, sehingga hal tersebut bertentangan
dengan konsep the rule of law dimana terdapatnya pengaturan yang jelas
baik itu persamaan kedudukan di muka hukum dan juga terdapatnya peradilan yang
bebas dan tidak memihak yang berimberimplikasi kekuasaan kehakimanh yang
merdeka.
Pasal 6 ayat (2) Kovenen
Internasional Tentang Hak Sipil Politik menyatakan bahwa Di negara-negara
yang belum menghapuskan hukuman mati, putusannya dapat diberikan hanya untuk
kejahatan yang paling berat, sesuai dengan undang-undang yang berlaku pada
waktu kejahatan demikian dilakukan, dan tanpa melanggar suatu ketentuan dari
Kovenan ini dan Konvensi Tentang Pencegahan Dan Penghukuman Kejahatan
Pemusnahan (suku) Bangsa. Hukuman ini hanya boleh dilaksanakan dengan putusan
terakhir dari pengadilan yang berwenang. Lebih lanjut Pasal 6 ayat (4)
Kovenan Internasional tentang Hak Sipil Politik mengatur bahwa Seseorang yang
telah dihukum mati harus mempunyai hak untuk memohon pengampunan atau
keringanan hukuman. Amnesti, pengampunan, atau keringanan hukuman mati dapat
diberikan dalam segala bab. Dalam hal ini menurut uraian diatas penulis
mencoba berpendapat dengan memperhatikan beberapa aspek, karena dalam memahami
suatu peraturan hendanknya diperhatikan aspek filosofis, sosiologis, dan
yuridis dalam dilakukannya ataupun diterapkannya pidana mati, meskipun dalam
HAM hukuman mati dilarang karena tidak sesuai dengan Pasal 3 DUHAM dan juga
banyak dari negara di dunia yang telah menghapuskan hukuman mati.
Di samping pengaturan tentang hak
dasar yaitu hak untuk hidup yang diatur dalam DUHAM tersebut yang dalam hal ini
dihubungkan dengan hukuman mati, terdapat pengecualian terhadap pelaksanaan hak
tersebut yaitu dengan adanya pemahaman mendalam terhadap adanya derogable
rights, yaitu dalam hal yang pertama ”a public emergency which treatens
the life of nation” dapat dijadikan dasar untuk membatasi pelaksanaan
hak-hak kebebasan dasar, dengan syarat bahwa kondisi keadaan darurat (public
emergency) tersebut harus diumumkan secara resmi (be officially
proclaimed), bersifat terbatas serta tidak boleh diskriminatif. (Muladi,
2004 : 101). Hal tersebut diatur secara limitatif dalam Kovenan Internasional
Tentang Hak Sipil dan Politik, dalam Pasal 4 ayat (1) ICCPR menyatakan, dalam
keadaan darurat umum yang mengancam kehidupan bangsa dan terdapatnya keadaan
darurat tersebut telah diumumkan secara resmi, negara-negara pihak pada kovenan
ini dapat mengambil upaya-upaya yang menyimpang (derogate) dari
kewajiban mereka berdasarkan kovenan ini, sejauh hal itu dutuntut oleh situasi
darurat tersebut, dengan ketentuan bahwa upaya-upaya tersebut tidak
bertentangan dengan kewajiban negara-negara pihak itu menurut hukum
internasional, dan tidak menyangkut diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit,
jenis kelamin, bahasa, agama, dan asal-usul sosial, sehingga vonis mati yang
dijatuhkan terhadap Saddam tidak bertentangan dengan Pasal 3 DUHAM, karena kejahatan
yang dilakukan adalah kejahatan HAM berat dan memenuhi ketentuan Pasal 4 ICCPR.
2.2. PIDANA PENJARA DALAM PERSFEKTIF HAM
Pidana penjara merupakan pidana
hilang kemerdekaan bergerak. Sistem Pidana penjara mulai di kenal di Indonesia
melalui KUHP (Wet Buek Van Strefrecht) tepatnya pada pasal 10 yang
menyebutkan pidana terdiri dari :
a. Pidana Pokok
- Hukuman mati
- Hukuman penjara
- Hukuman kurungan
- Hukuman denda
b. Pidana Tambahan
- Pencabutan hak-hak tertentu
- Perampasan barang-barang
tertentu
- Pengumuman putusan hakim.
Hal ini menarik untuk dikaji pada pidana pokok
khususnya poin kedua yaitu Pidana Penjara. Menurut rancangan Undang-undang KUHP
yang baru dikaitkan dengan rumusan-rumusan sanksi pidana dari berbagai
peraturan Perundang-undangan yang sedang berlaku. Lembaga Pemasyarakatan
sebagai tempat untuk menjalankan pidana hilang kemerdekaan Bergerak bagi
seseorang yang karena perbuatannya melanggar hukum dan dinyatakan bersalah
serta di putus dalam persidangan dan putusan tersebut telah mempunyai kekuatan
hukum tetap.
Dalam menetapkan pidana yang dijatuhkan harus dipahami
benar apa makna dari kejahatan, penjahat dan pidana itu sendiri . Apakah sudah
setimpal dengan berat dan sifat kejahatan yang dilakukan oleh sipelaku pidana
yang telah dijatuhi hukuman oleh hakim tidak cukup untuk mengatakan bahwa
pidana itu harus sesuai dengan ancaman pidana yang terdapat dalam peraturan per
Undang – undangan yang berlaku.
Pidana termasuk tindakan,
Bagaimanapun juga merupakan suatu penderitaan bagi yang dikenainya, Oleh karena
itu sudah sewajarnyalah tidak henti – hentinya untuk mencari dasar, tujuan
serta hakekat dari pidana dan pemidanaan, untuk memberikan pembenaran dari
pidana itu .
Jenis pidana yang paling
sering dijatuhkan pada saat ini adalah pidana pencabutan kemerdekaan khususnya
pidana penjara . Pidana pencabutan kemerdekaan atau pidana penjara dilaksanakan
dibelakang tembok yang tebal yang sama sekali asing bagi narapidana
Mencermati kalimat “PIDANA PENJARA” mengandung
pengertian bahwa tata perlakuan terhadap Narapidana belum berubah, karena
PENJARA berasal dari PENJORO (Jawa) yang berarti taubat atau jera, di penjara
atau dibuat jera (Koesnoen, RA, 1961 : 9). Walaupun tujuan dari Pidana Penjara
itu sendiri adalah Pemasyarakatan. Hal ini berbeda dengan pidana lainnya, yang
bunyi kalimatnya Pidana mati. Tujuan dan perlakuannya adalah terpidana tersebut
di Hukum Mati atau dibuat Mati, begitu juga Pidana Denda artinya Narapidana
tersebut di denda.
Lain halnya dengan Pidana Penjara yang mengandung
pengertian tata perlakuan terhadap Narapidana tersebut di buat jera agar tidak
mengulangi lagi perbuatan yang melanggar hukum Hal ini akan mengandung persepsi
yang berbeda-beda karena membuat orang jera akan di tempuh berbagai macam cara.
Padahal tidak demikian maksud dari Pidana Penjara,
yang sebenarnya adalah satu-satunya derita yang diberikan oleh Negara adalah
dihilangkannya kemerdekaan bergerak dan di bimbing terpidana agar bertaubat, di
didik supaya menjadi seorang anggota masyarakat sosial di Indonesia yang berguna
Hal ini sesuai dengan orasi ilmiah Dr. Soeardjo, SH
pada penerimaan gelar Doktor Honoris Causa dalam ilmu hukum, oleh Universitas
Indonesia di Istana Negara pada tanggal 5 Juli 1963. Merumuskan bahwa tujuan
Pidana penjara adalah “Disamping menimbulkan rasa derita pada terpidana karena
hilangnya kemerdekaan bergerak, membimbing terpidana agar bertaubat, mendidik
supaya ia menjadi seorang anggota masyarakat sosial di Indonesia yang berguna”.
Gagasan tersebut sebagai tonggak sejarah lahirnya tata perlakuan yang lebih
baik terhadap Narapidana yang melahirkan prinsip-prinsip pemasyarakatan,
kemudian dirumuskan dalam suatu sistem yaitu Sistem Pemasyarakat
Kajian lebih lanjut adalah bagaimana istilah pidana
penjara ini di di ganti menjadi “Pidana Hilang Kemerdekaan Bergerak” yang
kemudian melahirkan suatu Sistem pemidanaaan yang harus berubah tidak lagi
berorientasi pada membuat pelaku menjadi jera akan tetapi lebih berorientasi
pada Warga Binaan Pemasyarakatan harus berada dalam Lembaga Pemasyarakatan
untuk memperbaikinya agar hal ini sejalan dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun
1995 tentang Pemasyarakatan.
Pemasyarakatan merupakan bagian akhir dari Sistem
Pemidanaan dalam Tata Peradilan Terpadu adalah bagian Integral dari Tata
Peradilan Terpadu (Integrated Criminal Justice system). Sehingga di tinjau dari sistem
kelembagaan, cara pembinaan dan petugas Pemasyarakatan merupakan bagian akhir
yang tak terpisahkan dari satu proses penegakkan hukum. Oleh sebab itu sudah
seharusnya oleh menyamakan visi dan misi serta persepsi, sehingga tujuan dari
pada penegakkan hukum akan tercapai.
Sehubungan dengan tujuan Pemidanaan Sahetapy yang juga
berorientasi pada pandangan filosofi Pancasila berpendapat bahwa :
Pemidanaan sebaiknya bertujuan pembebasan. Dijelaskan
selanjutnya bahwa makna pembebasan menghendaki agar si pelaku bukan saja harus
dibebaskan dari alam pikiran yang jahat, yang keliru, melainkan ia harus pula
dibebaskan dari kenyataan sosial dimana ia terbelenggu .
Pidana Penjara merupakan suatu sistem perlakuan
pelanggaran hukum yang pada dasarnya memberi pola perlakuan reintegrasi yang
bertujuan memulihkan kesatuan hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan
Narapidana dalam kapasitasnya sebagai mahluk pribadi dan mahluk social dalam
konteks Hak Asasi nya subagai Manusia, Pemulihan kesatuan ini memiliki masalah
yang sangat kompleks. Masalah pembinaan pelangar hukum adalah pembinaan manusia
dari segala sisi termasuk yang paling prinsip yakni sisi HAMnya. Dalam upaya
pemulihan kesatuan ini, yang terpenting adalah proses yang berfungsi sebagai
katalisator pencapaian tujuan tersebut.
Proses Pidana Penjara dalam Lembaga Pemasyarakatan
sebagai katalisator pencapaian tujuan tersebut adalah merupakan proses
integrasi yang menggalang semua aspek kemasyarakatan secara integral, termasuk
aspek kehidupan Narapidana. Proses Pemasyarakatan adalah proses gotong royong
yang terjalin antara Narapidana, Petugas dan Masyarakat. Oleh sebab itu dalam
perspektif HAM dan untuk memberikan “keadilan” perlakuan terhadap
Narapidana yang terkena pidana penjara tidak mutlak harus dengan cara-cara
kekerasan.
Menurut Salmond, terdapat beberapa karateristik atau
ciri dari hak yang di atur oleh hukum yaitu :
1. melekat pada
seseorang, orang ini disebut sebagai pemilik hak (the owner of the righ)atau
pemegang hak (the subject of it, the person entitled, or the person inherence).
2. seseorang
yang terkena oleh hak itu terikat oleh suatu kewajiban (the person bound to)
atau subjek dari kewajiban (the subject of duty atau the person of incidence).
3. hak ini
mewajibkan seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan bagi
pemegang hak, inilah yang merupakan isi suatu hak.
4. melakukan
atau tidak melakukan perbuatan tadi berkaitan dengan suatu objek tertentu
(object or subject matter of the righ).
5. setiap hak
memiliki title atau fakta-fakta atau peristiwa-peristiwa yang atas dasar itu
hak tersebut melekat pada seseorang.
Dengan demikian fungsi Pidana Penjara, tidak lagi
sekedar penjaraan tetapi juga merupakan suatu usaha rehabilitas dan reintegrasi
sosial. Pidana Penjara seharusnya merupakan Sistem Pemasyarakatan menitik
beratkan pada usaha perawatan, pembinaan, pendidikan dan bimbingan bagi warga
binaan yang bertujuan untuk memulihkan kesatuan yang asasi antara induvidu
warga binaan dan masyarakat.
Pelaksanaan pidana penjara di lembaga pemasyarakatan
didasarkan atas prinsip-prinsip Sistem Pemasyarakatan dengan tujuan agar
menjadi warga yang baik dan berguna. Warga binaan dalam Sistem Pemasyarakatan
mempunyai hak-hak asasi untuk memperoleh pembinaan rohani dan jasmani serta
dijamin untuk menjalankan ibadahnya, berhubungan dengan pihak luar baik
keluarganya maupun pihak lain, memperoleh informasi baik melalui media cetak
maupun elektronik, memperoleh pendidikan yang layak dan sebagainya.
Hak-hak ini seharusnya diperoleh secara otomatis tanpa
dengan syarat atau kriteria tertentu, walaupun seseorang dalam kondisi yang di
pidana penjara.agar hak narapidana ini dapat terselenggara dengan baik maka
sistem penjara yang nota benenya adalah pembalasan terhadap pelaku tindak
pidana harus dirubah ke sistem pemasyarakatan yang bertujuan untuk memulihkan
narapida dengan tetap berorientasi kepada kesatuan hak asasi antara induvidu
dan masyarakat.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Hukuman mati masih diterapkan
di Indonesia dan tertuang dalam hukum positif Indonesia yaitu Pasal 10 KUHP dan
termasik sebagai pidana pokok, hal tersebut juga didukung dengan kualifikasi
tindak pidana yang bisa dikategorikan ataupun diancam dengan pidana mati antara
lain tindakan makar, ataupun mengajak negara asing untuk menyerang Indonesia
begitu juga dalam Rancangan KUHP juga terdapat pengaturan pidana mati.
2. Pidana Penjara merupakan suatu sistem perlakuan pelanggaran hukum yang pada
dasarnya memberi pola perlakuan reintegrasi yang bertujuan memulihkan kesatuan
hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan Narapidana dalam kapasitasnya sebagai
mahluk pribadi dan mahluk social dalam konteks Hak Asasi nya subagai Manusia,
Pemulihan kesatuan ini memiliki masalah yang sangat kompleks. Masalah pembinaan
pelangar hukum adalah pembinaan manusia dari segala sisi termasuk yang paling
prinsip yakni sisi HAMnya. Dalam upaya pemulihan kesatuan ini, yang terpenting
adalah proses yang berfungsi sebagai katalisator pencapaian tujuan tersebut.
B. Saran-saran
1. Bagi aparat penegak hukum,
khususnya bagi para pembuat produk hukum hendaknya lebih memperhatikan aspek
kemanusiaan dalam hal membuat suatu rumusan yang berisi tentang pidana mati,
dan juga terhadap aparat penegak hukum harus lebih memperhatikan aspek kedepan
beserta alasan tentang penerapan pidana mati.
2. Bagi seluruh masyarakat
hendaknya mematuhi hukum yang bertujuan untuk mencapai keadilan dal ketertiban,
karena dengan tertibnya hukum dapat tercipta suatu kondisi yang nyaman, serta
memperhatikan ketentuan internasional hak asasi manusia dalam penerapan pidana
mati.
DAFTAR PUSTAKA
Afif Hasbullah. 2005. Politik Hukum Ratifikasi Konvensi Ham Di Indonesia
Upaya Mewujudkan Masyarakat Yang Demoktatis. Lamongan : UNISDA.
Andi Hamzah dan Sumangelipu.1985. Pidana Mati di Indonesia dii Masa Lalu, Kini, dan
di Masa Depan. Jakarta : Ghalia Indonesia.
Anonim. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal
Declaration of Human Right) 1948
_________. Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil
dan Politik (International Covenant on Civil and Political Right).
_________. 2007. Legalitas
Pidana Mati. .http://blog.360.yahoo.com /blogFY.YCdA3eqJBaePF0zjgLK9R?p=6.
[12 September 2007]
Arie Siswanto. 2005. Yuridiksi
Material Mahkamah Kejahatan Internasional. Bogor : Ghalia Indonesia.
Bambang Sunggono dan Aries
Harianto. 2001. Bantuan Hukum Dan Hak Asasi Manusia. Bandung : Mandar Maju.
Boer Mauna. 2003. Hukum Internasional Pengertian
Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global. Bandung : Alumni.
Davidson, Scott. Hak Asasi Manusia. 1994.
Jakarta : Grafiti.
Djoko Prakoso. 1987. Masalah Pidana Mati (Soal
Jawab). Jakarta: Bina Aksara.
Web Site : http://ayub.staff.hukum.uns.ac.id/artikel-artikel/hukuman-mati-menurut-perspektif-ham-internasional/
Tugas : Hukum Pantesier
PIDANA
MATI DAN PIDANA PENJARA DALAM PRESPEKTIF HAM
Oleh
HARDIANSYAH
HIAI 09 283
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2012